Minggu, 16 Mei 2010

Perilaku Politik di Tempat Kerja

Pasca Orde Baru, terdapat fenomena unik pada diri NU dalam hal berpolitik. Perubahan peta sosial-politik pada masa ini direspon NU dengan cara, salah satunya, menggagas sebuah partai politik yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan panitia kecil dalam rangka merumuskan pembentukan partai politik tersebut. Lahirlah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Karena alasan integralitas wadah penyaluran aspirasi warga NU, PKB lantas diklaim sebagai satu-satunya sayap politik resmi milik warga NU. Sebelumnya, nama yang diusulkan PBNU adalah Partai Kebangkitan Umat (PKU) (Faisal Ismail, 1999: 35; Kuntowijoyo, 1999: 27).

Kalau dicermati dengan seksama, tindakan para tokoh NU ini cukup mengindikasikan adanya kecenderungan pergeseran sikap, orientasi dan bahkan perilaku politik (political action) pada diri NU. Kalau selama ini pola perilaku politik NU bercorak kultural (cultural oriented) dengan fokus gerakan pada pembelaan dan pemberdayaan masyarakat, kini perilaku politik NU kian menampakkan wajahnya yang struktural (structural oriented). Ali Maschan Moesa (Jawa Pos, 12 Oktober 2002) menyatakan bahwa pergeseran perilaku politik ini bisa dilihat dari peran politik NU yang independen dan oposan menjadi partisan, dan dari partai politik kerakyatan menjadi politik kekuasaan. Meski pergeseran perilaku politik ini lebih bersifat personal atau komunal dalam NU sendiri bukan secara institusional yang melibatkan organisasi, dalam prakteknya susah dipisahkan antara keduanya. Karena tindakan personal atau kelompok yang dilakukan oleh tokoh-tokoh NU selalu mengusung simbol-simbol keorganisasian NU, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pergeseran perilaku politik ini juga bisa dilihat dari keterlibatan tokoh-tokoh NU yang secara intens memobilisir massa nahdliyyin guna menopang perolehan suara PKB pada pemilu1999 sebagaimana amanat hasil rapat pleno PBNU ke-4 tanggal 24 Juli 1998 di Jakarta. Hasil rapat ini berisi seruan agar seluruh warga NU memberikan dukungan dan memelihara PKB sebagai satu-satunya partai milik warga NU (Badrun Alaena, 2000: 103-104). Aksi tokoh-tokoh NU dengan segenap warga Nahdliyyin dalam melakukan keberpihakan terhadap Abdurrahman Wahid yang menduduki kursi kepresidenan ketika terjadi konfrontasi dengan MPR/DPR juga mengindikasikan pergeseran ini. Hal ini ditambah dengan pernyataan sikap para ulama NU yang mendukung Abdurrahman Wahid untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 23 Juli 2001 sebagai political counter terhadap maklumat MPR/DPR yang hendak mencabut mandat kepresidenan Abdurrahman Wahid melalui Sidang Istimewa (SI) MPR. Semua tindakan yang dilakukan NU tersebut, jelas tidak muncul begitu saja tanpa memiliki pretensi politik.

Sekilas perilaku politik NU ini dapat dikatakan kontra-produktif dengan pola perilaku politik NU pasca Khittah di mana NU memutuskan untuk menarik diri dari percaturan politik praktis untuk kembali kepada garis perjuangan semula yakni sebagai organisasi sosial-keagamaan. Juga aktivitas perpolitikan NU yang banyak diorientasikan kepada pemberdayaan masyarakat sipil (civil society) dalam kerangka kontrol terhadap kekuasaan (moral force). Namun demikian, tindakan NU untuk turut membidani kelahiran PKB dan keterlibatan politik di dalam partai itu tidak serta merta dapat dijadikan dalih untuk menjustifikasi bahwa NU telah berpolitik praktis dan mengingkari Khittah tersebut. Sebab, NU sendiri telah membuat garis pembatas yang sangat tegas dimana hubungan antara NU dan PKB hanyalah bersifat moral, kultural, historis, aspiratif, bukannya bersifat struktural (Hasyim Muzadi, 1999: 108).

Pun ada garis demarkasi yang tegas antara NU dan PKB, relasi antar keduanya sesungguhnya seringkali tampak kabur ketika dihadapkan pada realitas perpolitikan yang ditunjukkan oleh organisasi NU dan waganya secara umum. Keterlibatan aktif para tokoh dan kader NU dalam mendirikan dan mengurusi PKB, pada taraf tertentu, dapat diartikan bahwa NU mulai memasuki kembali political sphere dan tampak kian berorientasi kepada suatu upaya untuk kembali—meminjam istilah Syamsuddin Haris (1990: 41)—“berjaya secara politik” sebagaimana pengalaman politik NU pada era 1950-1970-an di mana NU benar-benar menjadi aktor politik (political actor) yang secara langsung berkiprah dalam sruktur perpolitikan negara.

Hal senada juga ditangkap oleh Martin van Bruinessen (Jurnal Gerbang, 12-V, 2002: 10) ketika ia menghadiri Muktamar NU ke 30 di Kediri pada November 1999. Menurutnya, para pemimpin NU lokal yang berkumpul di sana sangat bersuka cita dengan kembalinya pemimpin mereka kepada “politik praktis” setelah mereka menunggu selama kurang lebih 15 tahun dengan penuh keresahan. Para pemimpin NU lokal ini terkesan sangat berambisi untuk kembali kepada politik patronase 1950 dan 1960-an. Bahkan, banyak delegasi yang mengharapkan terciptanya hubungan yang formal antara NU dan PKB, atau alternatifnya mengubah NU menjadi partai politik lagi.

Munculnya kecenderungan pergeseran perilaku politik kultural ke arah politik praktis ternyata tidak hanya tampak pada organisasi NU di tingkat Pusat melainkan juga di tingkat lokal yang berbasis di daerah-daerah, termasuk kasus aktivitas politik NU Jember Jawa Timur. Berdasarkan data pengamatan awal yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa, sementara ini, aktivitas-aktivitas yang dilakukan NU Jember lebih banyak bergesekan dengan wilayah politik praktis seperti kepentingan untuk menguasai pos-pos kekuasaan strategis dalam pemerintahan daerah, dukungan praktis kepada PKB Cabang Jember dalam kasus pemilihan Bupati Jember, keterlibatan NU Jember dalam mengurusi persoalan Pemerintahan Kota (Pemkot) dan berbagai aktivitas perpolitikan praktis lainnya. Bahkan, di lingkungan NU Jember tampak adanya kevakuman aktivitas-aktivitas yang bercorak sosial-keagaamaan.

Penelitian ini mengambil lokasi di daerah Jember karena merupakan satu daerah kantong NU yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan daerah-daerah kantong NU yang lain. Sebagai bagian daerah yang masuk dalam lingkup wilayah “tapal kuda”—meliputi: Jember, Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Lumajang, dan Probolinggo—, warga NU Jember dikenal memiliki karakter sosio-kultural yang cukup militan. Namun dalam konstalasi perpolitikan daerah, warga NU Jember kurang mendapatkan tempat secara proporsional dalam struktur pemerintahan daerah. Alasan lain adalah banyaknya kajian tentang NU dan politik pada umumnya yang dilakukan pada lingkup makro, dan masih sedikit yang mengangkat perkembangan gerakan NU pada tingkat mikro.

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan penjelasan mengenai situasi dan kondisi sosio-politik yang menjadi konteks atau melatarbelakangi pergeseran perilaku politik kultural NU Jember di era multi partai pasca Orde Baru. Juga untuk menemukan penjelasan tentang faktor-faktor yang turut mendorong proses pergeseran perilaku politik ini. Dengan menggunakan strategi studi kasus (case study) bercorak deskriptif-eksploratif, peneliti mencoba menggali secara mendalam berbagai kasus perpolitikan kontemporer yang menyeret NU Jember untuk aktif terlibat di dalamnya. Dilihat dari dimensi waktunya, kasus-kasus perpolitikan NU Jember yang dikaji berada pada pusaran periode pasca Orde Baru yakni mulai dari awal terjadinya proses reformasi sampai sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar